Reggae, Bukan Hanya Pantai dan Ganja

Penulis: Renata Angelica

Diperbarui: Diterbitkan:

Reggae, Bukan Hanya Pantai dan Ganja @Foto: smashingmagazine.com

KapanLagi.com - Oleh: Renata Angelica

Barangkali bisa dibilang Steven and The Coconut Treez yang paling bertanggungjawab atas hal ini. Hit pertama mereka, Welcome To My Paradise, meledak beberapa tahun lalu dan seolah-olah mengingatkan masyarakat bahwa ada genre bernama reggae. Padahal, sebelum Steven and The Coconut Treez, sudah lama berkarya seorang 'presiden' bernama Tony Q. Kalau dirunut ke belakang lagi, ada sederet musisi atau lagu berirama reggae, namun tak dapat disangkal Steven and The Coconut Treez yang membawa reggae ke permukaan.

Lagu Welcome To My Paradise begitu populer, sampai masuk dalam list band-band Top 40. Hal yang sama juga terjadi pada Santeria dari Sublime. Lagu itu begitu melegenda, sampai orang lupa Sublime memiliki hits lain selain Santeria. Lagu-lagu itu dibawakan tanpa penjiwaan, bersama dengan lagu-lagu hiphop dan RnB. Bagi yang tidak mendalami reggae, mungkin genre yang terlahir di Jamaika ini hanyalah genre senang-senang. Kebanyakan ceritanya mengenai pantai atau ganja, padahal sebenarnya reggae adalah musik perjuangan, musik spiritual.

Reggae merupakan turunan dari ska dan rocksteady. Biasanya keluarga genre ini disebut Jamaican music. Reggae berkembang sejak tahun 60-an, yang membedakan dari ska umumnya karena tempo lebih lambat. Sejarah awal perkembangan reggae menyebut nama The Maytals sebagai pencetus nama genre ini dengan lagu mereka, Do the Reggay. Kebanyakan musisi reggae yang disegani juga memainkan ska, seperti Desmond Dekker, bahkan The Wailers yang dikenal dengan ikon Bob Marley.

Seperti halnya ska, reggae pun mengalami perubahan-perubahan dalam beberapa gelombang, sesuai dengan perkembangan jaman. Early reggae adalah masa-masa sukar karena pada saat itu di Jamaika kondisi sedang berat. Banyak pengangguran dan kekerasan massal terjadi di jalanan. Musisi-musisi reggae pun berbicara melalui lagu-lagu mereka, menyampaikan pesan perdamaian dan menceritakan kepada dunia mengenai keadaan sosial di negara mereka. Dari sana, lahirlah sub kultur working class skinhead di Inggris. Ini adalah kaum kelas menengah ke bawah yang bangga bekerja memeras keringat sendiri. Di akhir minggu, kelas pekerja ini minum-minum bir di bar-bar dan berdansa reggae. Memasuki tahun 70-an, reggae semakin lekat dengan nama skinhead sehingga melahirkan istilah skinhead reggae dan lagu-lagu semacam Skinhead Moonstomp dan Skinhead Girl.

Reggae sempat tenggelam di tahun 90-an, walaupun musisi-musisi yang memainkannya terus berganti tiap generasi. Salah satu ikon yang bukan saja mengubah wajah reggae, namun juga menjadi ikon musik dunia adalah Robert Nesta Marley. Kita lebih mengenalnya dengan nama Bob Marley. Di jalanan, di mana saja, kita bisa menemukan gambar wajah Bob Marley dengan rambut dreadlock sedang mengisap sebatang ganja. Gambar itu begitu populer sama halnya seperti Kurt Cobain dengan quote 'I hate myself and I want to die'.

Resiko menjadi populer adalah segala sesuatu yang terlihat akan mudah ditelan mentah-mentah. Demikian juga halnya dengan Bob Marley dan reggae. Gambar itu menjadi sangat iconic sehingga kemudian orang mengkonotasikan reggae dengan Bob Marley dan tentu saja, ganja. Tanpa mau tahu, mengapa Bob Marley mengisap ganja?

Bob Marley mengisap ganja karena ia adalah seorang Rastafari. Pengucapan Rastafari berupa rastafar-ai, bukan rastafari seperti biasa.

Rastafari ialah semacam aliran kepercayaan. Bukan agama, mungkin lebih tepat disebut cara menjalankan agama. Mengisap ganja, dipercaya bisa membantu mempertahankan konsentrasi saat bermeditasi. Sejak tahun 70-an semakin banyak musisi reggae menyuarakan tentang Rastafari, misalnya Burning Spear, Steel Pulse, Israel Vibration, Lucky Dube dan Peter Tosh. Kemudian kepercayaan itu semakin meluas, sampai band punk Bad Brains pun mengikutinya dan menulis lagu I Against I mengenai Rastafari. Kalau masih ingat lagu Nothing Compares To You, penyanyinya wanita botak bernama Sinead O'Connor, juga seorang pengikut Rastafari.

Pada perkembangannya, reggae pun mempunyai turunan-turunannya sendiri. Seperti dub, raggamuffin, dancehall. Setelah era 90-an, sangat jarang musisi memainkan reggae root seperti yang dimainkan oleh nama-nama di atas, bukan lagi murni reggae seperti awal terlahir. Bahkan bagi yang tidak terbiasa, reggae root terdengar lebih berat dan serius.

Hal yang sama terjadi pula di Indonesia. Masih ingat dengan boomingnya Mbah Surip dengan lagu Bangun Tidur? Beberapa kelompok menolak menyebut Mbah Surip sebagai musisi reggae. Memang mempunyai lagu reggae, namun bukan musisi reggae. Ada begitu banyak musisi di seluruh dunia yang mempunyai setidaknya satu lagu berirama reggae. Sebagai contoh, band The Police dan penyanyi Rihanna. Di Indonesia ada Bondan Prakoso feat Fade 2 Black, Scope (band hip metal yang diotaki Steven dari Steven and The Coconut Treez), juga Mahadewi.

Irama reggae yang sangat easy listening menjadi salah satu strategi pemasaran industri, seperti yang terjadi pada Mbah Surip. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Yang salah adalah pemikiran bahwa reggae semata soal ganja, rambut gimbal dan pantai. Karena di balik itu semua, reggae mempunyai sejarah panjang dan bermakna, bukan cuma soal giting atau warna merah-hijau-kuning serta sapaan 'woyo' yang selalu dikumandangkan. (kpl/rea)

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

(kpl/rea)

Rekomendasi
Trending