Akhir Drama Ajang Pencarian Bakat?

Penulis: Trian Sulaiman

Diperbarui: Diterbitkan:

Akhir Drama Ajang Pencarian Bakat? Virzha Idol

KapanLagi.com - Oleh Trian Sulaiman

Dulu, saya memiliki pandangan yang sangat skeptis dengan ajang pencarian bakat. Coba sebut ajang pencarian bakat apa saja, pasti saya tampik, jika tidak saya tinggalkan obrolan membosankan itu. Sebabnya, dari ajang pencarian bakat yang ada di dalam dan luar negeri, saya tahu betul jika ajang pencarian bakat memiliki bumbu penyedap berupa drama.

Itu yang saya anti dan wanti-wanti. Sebenarnya, apa sih yang mereka ingin tampilkan, ajang menyanyi atau sinetron? Persaingan yang ketat antar stasiun televisi, demi mendulang rating yang tinggi serta iklan yang mumpuni, membuat ajang pencarian bakat, khususnya menyanyi, jadi dramatis.

Kisahnya pun digali oleh tim kreatif se-maksimal mungkin. Stereotype yang paling sukses dan paling sering digunakan adalah kontestan yang berasal dari warga kurang mampu. Baik dari seorang anak tukang becak, anak buruh tani bahkan pengamen jalanan. Dan, mirisnya, yang diuntungkan adalah para pemodal. Menurut, Guritno (di majalah Gatra), dalam 30 detik, stasiun televisi yang menayangkan acara pencarian bakat diperkirakan memasang tarif 18 juta rupiah. Jadi, dalam dua jam, dipastikan acara ini sedikitnya mendapatkan 846 juta rupiah dalam satu malam. Berani hitung jumlahnya dalam satu season?

Menjual dan mengeksploitasi kemiskinan tidak akan pernah membuat saya simpatik. Bukan terhadap para kontestan itu tentunya, namun pendapat itu saya alamatkan kepada produser TV Show.

Bisa jadi, drama yang tersaji pun mulai sedikit teralihkan dengan kualitas olah vokal yang jadi atensi utama (meski drama tidak sepenuhnya hilang). Dan, mungkin ini sudah waktunya saya merevisi pendapat pribadi saya.

Saya sadari gugatan saya seakan tidak memiliki arah, ke mana saya harus bertanya, kepada para produser TV yang memang tunduk pada budaya massa? Pemilik stasiun TV yang dikejar target pembayaran hak cipta yang selangit? Atau para kontestan yang memang benar-benar berbakat tapi realitanya tidak berpunya? Jangan-jangan semua orang memang nyaman dengan hal semacam ini.

Nyatanya, saya mulai menikmati suguhan Indonesian Idol. Sebuah guilty pleasure yang saya nikmati sendiri. Indonesian Idol 2014 mungkin jadi ajang pencarian bakat yang paling nikmat saya ikuti perkembangannya. Dan saya siap dihujat karena menjilat ludah saya sendiri. Sebuah kontradiksi yang sah-sah saja bila kalian bilang cukup konyol.

Yuka Idol ©KapanLagi.com®Yuka Idol ©KapanLagi.com®


Favorit saya adalah Yuka Tamada. Ya, gadis asal Makassar plus kuturunan Jepang yang mengikuti audisi di kota Kembang ini memiliki potensi menarik atensi.  Yuka selalu tampil asyik tiap menyanyikan pilihan musik yang lebih dari sekedar nyentrik. Lolos audisi berkat Stevie Wonder, My Cherrie Amour, menyanyikan hits dari Florence and The Machine, kemudian melewati sulitnya ketukan Pharrell Williams di lagu Happy, dan mencerahkan kala melantunkan In A Sentimental Mood. Kontestan ini bisa dibilang paling berani.

Selain itu, ada Nowela yang seksi dengan aksen vokalnya serta gayanya yang cadel, ada juga Virzha yang tampil menggoda plus aksi panggung yang percaya diri. Lalu, ada Husein Alatas yang agressif lewat selera musik 'underground' metal dengan cengkok arab.

Ketenaran macam apa yang bisa kontestan ajang pencarian bakat dapatkan dengan selera ideal seperti itu?

Dengan, selera industri musik mainstream yang masih 'itu-itu saja', maka apa yang dilakukan Yuka, Nowela, Virzha dan Husein dengan kemampuan vokal yang luar biasa unik, bisa dibilang sebagai usaha bunuh diri di panggung populer semacam Indonesian Idol. Namun bisa jadi, mungkin cara pandang saya yang harus diputar. Bukannya mereka ini yang kita butuhkan untuk mengubah persepsi masyarakat yang mulai pesimis dengan perkembangan musik Indonesia?

Nah, hal itulah yang membuat saya berani merevisi pandangan saya tentang ajang pencarian bakat.

Drama pun sudah tidak kentara, dan wajah bukan modal utama untuk bisa bertahan. Buktinya, kontestan Ryan D Angga harus tereleminasi di minggu ke-2. Padahal, jika dibandingkan dengan kontestan pria yang ada, Ryan lah yang paling menjual. Cerita tentang motivasinya mengikuti Indonesian Idol untuk ayah yang telah tiada pun tidak jadi narasi utama. Paling tidak, drama hanya saya rasakan saat para juri berkomentar.

Saya kira saya sedang berbulan madu dengan ajang pencarian bakat. Setidaknya untuk saat ini.

Pasalnya, dari dalam hati saya; seandainya para kontestan yang benar-benar berbakat ini tidak harus lewat ajang pencarian bakat, tentunya tidak bakalan konsistensi dan potensi berkesenian seperti itu jadi sekedar sensasi belaka. Terlalu sayang jika nama mereka kemudian hilang setelah ajang ini usai, seperti yang sudah-sudah.

 

 

(kpl/trn)

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

(kpl/trn)

Editor:

Trian Sulaiman

Rekomendasi
Trending