Diperbarui: Diterbitkan:
Kebebasan berkreasi dalam musik di Indonesia ternyata masih terelung belenggu yang erat. Keinginan seseorang untuk meluapkan karyanya harus dibayar cukup mahal dengan opresi dari beberapa pihak yang tidak setuju.
Kejadian penangkapan komunitas Punk di Aceh beberapa pekan yang lalu seakan mengingatkan kita di zaman orde lama, dimana waktu itu musik rock dan pemuda berambut gondrong tidak diperbolehkan.
Advertisement
Kita mengingat sejenak di pertengahan 60an dimana masa kejayaan musik rock yang juga melanda pemuda Indonesia. Attitude rock kala itu mengisukan jargon kebebasan, anti kemapanan dengan ditunjukkan dari dandanan yang jauh dari rapi dan rambut yang panjang.
Hal ini bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah yang kala itu menginginkan generasi muda mereka berpakaian rapi. Anak muda mencoba mengadaptasi budaya barat dari apa yang mereka lihat di sampul tape/piringan hitam atau majalah yang memuat band pujaannya.
Para musisi pun juga tak mau kalah meniru dandanan serta aksi panggung band mancanegara yang saat itu tengah naik daun. Demam rock langsung mewabah ke suluruh pelosok nusantara. alhasil membuat pemerintah kalang kabut dengan euforia para remaja ini.
Opresi yang dilakukan oleh pemerintah pun dialami oleh Koes Plus yang kala itu asyik memainkan musik rock and roll yang dianggap oleh sebagian orang sebagai musik berisik. Pada Kamis 1 Juli 1956 sepasukan tentara dari Komando Operasi Tinggi (KOTI) menangkap kakak beradik Tony, Yon dan Yok Koeswoyo dan mengurung mereka di Lembaga Pemasyarakatan Glodok.
Mereka ditangkap lantaran sering memainkan lagu-lagu dari The Beatles yang dianggap meracuni jiwa generasi muda. Sebuah tuduhan yang tidak masuk akal dan tanpa dasar hukum yang jelas. Adapun tuduhan yang mereka kenai adalah memainkan musik 'ngak ngek ngok' (istilah pemerintah orde lama) dan cenderung imperealisme pro barat. Koes Plus pun dibebaskan tanpa ada persidangan atau apapun.
Kembali ke masa sekarang, jika kita kaitkan, kejadian ini hampir mirip dengan apa yang terjadi pada komunitas punk di Aceh. Sebuah pembatasan kreasi untuk berkarya yang tidak jelas dasar hukumnya dan terlalu mengada-ada. Mereka menghakimi dari segi pakaian, musik dan pola pikir hanya karena bertentangan dengan syariah.
Mereka ditangkap, digunduli, dan dimasukkan ke kali sebagai upaya untuk membersihkan diri dari dan diajarkan dengan istilahnya 'dimoralkan'. Entah moral seperti apa yang mereka ajarkan dimana negara kita saat ini tengah mengalami krisis moral. Sebuah tindakan represif dari aparat yang beusaha untuk menyeragamkan dan menilai bahwa Punk itu adalah jelek.
Kejadian ini sendiri menjadi sorotan di media massa luar. Banyak yang menyayangkan kenapa kebebasan hak seseorang untuk berkreasi harus dibelenggu. Tak sedikit pula musisi punk di manca negara yang memberikan dukungan untuk komunitas Punk di Indonesia.
Kebebasan para musisi untuk menyuarakan apa yang mereka rasakan memang harus berhadapan dengan pembatasan-pembatasan yang terkadang tidak masuk akal. Bahkan Iwan Fals, Elpamas dan beberapa musisi lainnya di tahun 1980an juga harus sering berurusan dengan pihak berwajib karena liriknya yang dinilai terlalu mengkritik masyarakat.
Lantas sampai kapan belenggu yang melingkar di musik Indonesia ini akan berakhir? Karena yang para musisi inginkan hanyalah meluapkan ekspsresi yang mereka inginkan. (kpl/faj)
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
(kpl/faj)
Advertisement