Diterbitkan:
Kapanlagi.com - Bermula dari kecintaannya terhadap dunia musik, Jan Djuhana lantas memulai sebuah band yang kemudian ia tekuni semasa sekolah di tahun 1988. Melalui momen inilah Jan Djuhana mulai mempelajari seluk-beluk proses produksi sebuah lagu, menjalin kerjasama, hingga pendistribusian karya musik.
Lewat intuisinya dalam melihat pasar dan selera musik, Jan Djuhana sukses merekrut sederet band yang kemudian menjadi idola baru di Indonesia. Dewa 19, Elfa's Singers, hingga Kahitna adalah nama-nama sukses yang ditemukan dan ditangani langsung oleh Jan Djuhana.
Baru-baru ini kami mendapat kesempatan untuk mewawancarai salah satu pilar musik Indonesia tersebut mengenai perjalanan hidupnya, hingga menyoal industri musik di era digital hari ini. Mari simak perbincangan kami bersama Jan Djuhana saat dijumpai di ArtSound Studio, Kelapa Gading, Jakarta Utara, belum lama ini.
Advertisement
KapanLagi.com®: Bisa pak Jan ceritakan awal mula anda mencintai hingga bisa terjun ke industri musik?
Jan Djuhana: Kalau orang tua suka bermain musik, main sendiri aja, harmonika, salah satunya itu. Kalau saya di sekolah ngeband terus sampai lulus. Akhirnya band lebih serius, tapi mau kuliah, 1-2 tahun berhenti dari band. Lalu sambil kuliah (itu saya) nikah, tetapi saya juga rekaman lagu-lagu, akhirnya produksi. Awalnya kerjasama, saya bantu edarin, tetapi belakangan saya produksi sendiri. Itu di tahun 88, saya punya perusahaan rekaman namanya Team Record. Itu kita produksi beberapa artis, salah satunya album kompilasi CATATAN SI BOY, kesatu, dua dan tiga itu kita kerjasama dengan Prambors. Kemudian saya kontrak juga dengan KLa Project. Sebelumnya ada grup vocal Elfa's Singers, kemudian bergabung lagi Dewa 19, album pertama (KANGEN). Mulai start saya pertama, lalu saya bikin album kompilasi juga mas Bens (Leo) yang kasih judul 10 band nusantara, di situ salah satunya ada Kahitna, Elfa's Singers, Saung Jabo, banyak pokoknya, 10 artis dengan bermacam-macam jenis musik.
KapanLagi.com®: Kenapa pada saat itu anda mencoba mengais rezeki dari dunia musik, apa tak ada ketertarikan lain untuk mencari sumber pemasukan?
Jan Djuhana: Saya hobi bidang seni, saya berusaha juga usaha untuk barang-barang meubel dari daerah, panggil tukang pahat, saya kasih desain. Cuma itu juga perlu perhatian, waktu untuk menjualnya, itu agak berat. Mesti sewa tempat, penjualan susah, sedangkan pengrajin kita panggil, mereka kita siapin tempat, itu perlu biaya. Terus saya juga punya toko kaset, jadi 2 macem, produksi lagu, toko musik semua jalanin berbarengan, akhirnya gak bisa konsentrasi.
KapanLagi.com®: Lalu bagaimana hingga akhirnya anda bisa fokus untuk melangkah di industri musik?
Jan Djuhana: Akhirnya ketika temen-temen di Team Record kurang komit di musik dengan mengundurkan diri, akhirnya saya juga pusing. Dulu kita beramai-ramai punya perusahaan itu, cuma saya yang menjalankan untuk produksi, jadi saya kira karena mereka gak komit, akhirnya artisnya kita serahkan ke Aquarius. Di situ ada Dewa, KLa, Elfa, kami semua pemegang saham (Team Record) sudah angkat tangan, akhirnya saya diminta bantuan di Aquarius sebagai produser Dewa di album kedua. Saya masih bantu di sana, kemudian saya diajak Sony Music, join di sana (tahun) 1998, itu kita benar-bener perusahaan baru, kantor baru di daerah Menteng. Saya ditugaskan produksi artis Indonesia. Pada saat mau produksi, kita kan gak punya artis, waktu itu saya juga pusing. Saran dari perusahaan kami yang di kantor pusat, disuruh ikutin Hong Kong sama Taiwan, artis top, comot, ajak masuk Sony Music. Saya bilang, 'saya gak niat begitu, karena kalau saya ambil Chrisye, Iwan Fals, bisa jadi ribut sama perusahaan yang megang masing-masing itu,' gak pantes juga karena semua teman saya kenal baik mereka. Jadi saya minta kesempatan seperti yang saya lakukan dulu di perusahaan saya sendiri, saya bisa dapatkan Dewa, KLa Project, akhirnya dikasih kesempatan. Saya akhirnya buat kompilasi indie ten, ada Wong, Padi, Sobat. Setelah itu beranjak, saya kedatangan tamu dari Jogja, dengerin demonya bagus juga, yang datang Eross sama Adam, dia pulang bikin, tapi gak punya ongkos buat bikin di studio. Akhirnya saya suruh datang ke Jakarta, saya masukin studio rekaman, langsung rekam. Dulu kota Jogja siapa yang mau lihat ada bibit unggul semacam itu? Orang lihatnya Bandung, Jakarta dan Surabaya sebagai barometer musik. Setelah saya dengerin demonya, saya kontrak dulu terus langsung rekaman, dia tinggalnya di Jakarta, di rumah saudaranya di Rawamangun selama sebulan rekaman. Sudah rekaman mereka pulang, saya siapin albumnya begitu diedarin, perjalanannya masih sepi order pas single pertama (Kita), pas single kedua (Dan) langsung boom, gak lama mencapai sejuta, itu luar biasa.
KapanLagi.com®: Secara singkat, bagaimana hingga akhirnya pak Jan bisa sampai bergabung dengan Universal Music Indonesia?
Jan Djuhana: (Dulu saya) Di sony 15 plus 1 tahun, satu tahun sebagai konsultan. Saya pikir sudah cukup masa bakti saya di Sony. (Setelah itu) Saya dipinang di Universal, saya pikir saya bantulah, soalnya selama ini belum konsen buat artis Indonesia. (Sekarang ini di Universal) Kita ada 5Romeo, sekarang ada The Finest Tree, dia main juga di Soundrenaline di bali.
KapanLagi.com®: Bagaimana cara pak Jan menemukan calon talenta baru di antara ratusan demo yang masuk setiap harinya?
Jan Djuhana: Beberapa point, ya karakter vokal, terus aransemen, lirik lagu, penampilan artis. Semua kita tinjau. Kalau poinnya semua di atas 6 kita akan coba, kalau bisa 8 semua. (Kalau yang nggak sesuai itu karena) Yang pasti, lagunya gak bisa nyantel di kuping, ngawur notasinya, ya kita bilang nggak, berarti belum bisa bikin lagu yang baik. Kalau saya meninjau keseluruhannya saja, bukan misal pemain drumnya kurang, atau vokalis lemah, ya ganti vokalis atau drum. Ya kami gak seperti itu, karena mereka sama-sama urunan untuk sewa studio bikin demo, saat itu bikin demo kan bukan di rumah, mereka mesti sewa studio, jadi kasian juga kalau kita peretelin. Saat mereka mau tumbuh kita peretelin, saat ngeband mereka belum ada perjanjian hitam di atas putih. Kalau sukses bagi hasilnya gimana, belum ada tuh. Pada dasarnya 50:50, tetapi kalau si pencipta lagu mestinya dapat lebih, makanya di Sony saya terapkan kontraknya selain kontrak artis, royaltinya buat pencipta lagu, supaya fair. Contoh Sheila, album pertama kan Eross semua ciptaannya, ya udah Eross dapat bagian lebih.
KapanLagi.com®: Lalu bagaimana dengan band atau seorang musisi menjadi tak laku? Apa yang membuat mereka kurang disukai meski awalnya pak Jan menemukan potensi di dalamnya?
Jan Djuhana: (Kalau yang nggak laku) Biasanya kami kontrak buat beberapa album. Kalau pertama gak bagus, kami coba lagi di album kedua. Kalau gak bagus juga, si artis susah komunikasi, kita gak lanjutkan kerjasama. (Yang bikin gak disukain) Kadang-kadang penyanyinya mengundurkan diri bisa. Itu contohnya Speaker First, itu band bagus. Begitu menjelang album kedua, penyanyinya mengundurkan diri. Dia berubah pikirannya, lebih konsentrasi di agama, anti nyanyi-nyanyi, ya susah juga, panggilan, kita gak bisa maksain.
KapanLagi.com®: Sekarang ini industri musik sudah mengalami banyak perubahan dan perkembangan, terutama di era digital sekarang ini. Apa perbedaan yang paling terasa menurut pak Jan?
Jan Djuhana: Kalau segi tatanan musik, sebetulnya kalau di Indonesia pangsa yang besar untuk jualan pop rada melayu. Kalau bicara download, RBT, kalau yang lain banyak yang beragam, cuma pasarnya itu ada tapi hanya di kota-kota besar saja, gak menyeluruh. Kalau pop melayu dulu kita pernah Hijau Daun, The Potters, yang bisa masuk kelas A-B-C-D termasuk Yovie and Nuno, Menjaga Hati sukses berat, apalagi di Malaysia, download-nya hingga jutaan copy, sampai kita datang ke Malaysia setelah 1 tahun sukses. Kebetulan mereka dapat off air di sana, ditanya wartawan sana kenapa pas meledak tidak datang, (sebenarnya) Sony Music Malaysia yang tidak mengajak kami ke sana, tetapi kita beralasan sedang sibuk di Indonesia. Ada juga lagunya gak cemen tetapi tetap bagus seperti Bondan Prakoso feat Fade2Black yang judulnya Ya Sudahlah juga bagus penjualannya, Astrid di atas 10 juta download, tetapi pasarnya tetap pop kata saya, kalau kita mau cari uang.
KapanLagi.com®: Lalu apa keuntungan dan keburukan era digital menurut kacamata pak Jan?
Jan Djuhana: Kalau sekarang penjualan fisik udah gak ada, ada juga sedikit, kalau dihitung dengan biaya produksi sebuah album dengan apa adanya repot. Mau jual online juga memble juga. Jadi satu-satunya (cara) kita tetap menjualnya di pasar digital.
KapanLagi.com®: Masih mengenai perubahan yang ada di industri musik, apa anda tetap mengikuti zaman dan tren yang ada?
Jan Djuhana: Iya, tetapi ada nada-nada yang komersil, note-nya orang suka. Walau musiknya pakai saxophone atau apa, tetap tekankan kalau kita mau jualan dengan artis dan arangger-nya, harus bikin enak sama nyaman di kuping.
KapanLagi.com®: Misal saja label lain menawarkan musik melayu dan sukses besar, apakah pak Jan akan mengikuti tren yang mereka hasilkan?
Jan Djuhana: Saya gak pernah mau sebagai follower, saya maunya leader, mereka boleh ikut saya, tetapi saya tidak ikut mereka. Dulu awal album pertama saya rilis di Sony (itu) Rif, musiknya tau kan kayak gimana? Makanya saya melakukan beragam musik dilakukan, dari dulu sampai sekarang warnanya macem-macem, gak cuma satu warna saja.
KapanLagi.com®: Dengan segala kemudahan di masa sekarang, banyak bermunculan label-label independen baru di Indonesia. Apa komentar pak Jan melihat hal ini?
Jan Djuhana: Saya kira memang eranya ke arah sana, begitu upload ke YouTube seluruh dunia bisa lihat hasilnya. Buat kami gak ada masalah, kami tertantang sebagai major label untuk mengikuti arus yang sekarang, cuma kami tetap mengutamakan musik-musik yang kami ajak bergabung ke arah pop saja, walau rocker nada popnya ada, seperti Edane.
KapanLagi.com®: Tahun lalu kami sempat kedatangan Pee Wee Gaskins dan bicara banyak hal mengenai album mereka. Namun yang menarik dari cerita mereka, mengapa anda tidak memberi batasan untuk band maupun musisi yang bisa dibilang memiliki musik segmented?
Jan Djuhana: Saya flashback, saya punya band yang seperti mereka, punk juga, Superman Is Dead, Rocket Rockers, termasuk sekarang yang lagi mau tampil di Woodstock, Speaker First. Saya segala macam musik saya lakukan, termasuk band hardcore, Burgerkill dulu pernah sama saya, malah pernah saya duetin sama Fadli Padi. Ya begitulah, kita kasih mereka ruang sebebas-bebasnya. Cuma dengan catatan, kalau bisa ada beberapa lagu yang ngepop, nada-nada yang bisa orang ikut nyanyi. Soalnya ujung-ujungnya saya mau jualan juga, jadi memang sukses seorang artis dari lagu, baru orang tau mereka siapa.
KapanLagi.com®: Terus sibuk mencari talenta baru, apakah pak Jan tak pernah mendapat keluhan dari pihak keluarga?
Jan Djuhana: Gak, kalau keluarga support, dia tahu saya hobi di situ, di seni dan kebetulan mata pencaharian saya juga (ada di situ).
KapanLagi.com®: Terakhir, apa yang membuat anda sampai hari ini masih terus bersemangat untuk mencari, menelusuri dan merekrut talenta baru dunia musik?
Jan Djuhana: Karena kita anak muda Indonesia sampai sekarang kreatif banget, potensi banget. Kita kalau di-compare sama Malaysia, Brunei, Filipina, kita di atas mereka, jadi saya tetap optimis di musik Indonesia.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
(kpl/aal/ntn)
Advertisement